RUANG PENGAP
Oleh: Fajarmana
Dalam
gelap, sunyi, dan hening aku masih terpaku pada kekosongan yang ada di depan
mataku, bahkan di sekelilingku. Rasanya aku telah berada lama di sini, entah
sudah berapa hari, bulan, tahun, atau berapapun lamanya satuan waktu yang
pernah ditemukan. Aku mengembara pada keheningan hidup, bersembunyi dari apa
yang pernah aku impikan, dari apa yang pernah kuperjuangkan. Semuanya jelas,
aku sendiri di sini.
Dalam
tempat yang jauh dari ramai ini, aku gantungkan hidupku kepada kenangan.
Kubiarkan dia menjalani hariku yang muram dan penuh dengan kemalangan. Karena
aku tidak lagi sanggup menerima semua kenyataan bahwa dunia tidak pernah lagi
berada di pihakku.
* * *
Di
ruang ber-Ac, aku duduk tersandar pada kursi nyaman yang empuk, setidaknya di
sini aku dapat menghembuskan nafas dengan lega. Di depanku terduduk pula
seorang laki-laki muda, umurnya mungkin 2 tahun di bawahku. Dia memakai setelan
kasual, layaknya anak muda gaul lainnya. Ruangan ini tidak cukup besar, mungkin
5x4 meter, tapi di dalamnya tersusun rapih meja dan kursi juga beberapa hiasan
dinding.
Lelaki
itu menanyakan tentang sesering apa aku bercerita tentang masalah hidup pada
orang lain. Tentu aku jawab dengan tegas, bahwa aku tidak pernah didengar. Lalu
pertanyaan selanjutnya, tentang seberapa sering aku berkunjung ke psikolog
seperti dirinya, aku juga jawab baru kali ini.
"Kali
ini kamu bisa bercerita dengan bebas, tidak ada yang akan tau apa yang kamu
alami." Lelaki itu mencoba meyakinkanku untuk percaya padanya.
"Justru
aku ingin semua orang tau tentang apa yang aku rasakan." Aku menggerutu di
depannya.
Aku
bukan tidak ingin bercerita kepada orang lain, namun aku tidak pernah diberikan
kesempatan yang sama dengan orang yang sudah banyak bercerita padaku. Banyak
dari mereka mengira bahwa aku tidak mempunyai masalah, bahwa aku kuat. Nyatanya
tidak!
Aku
hampir mati menanggung derita yang tidak pernah kukatakan, dadaku penuh dengan
masalah-masalah yang ingin diungkapkan namun terus dipendam hingga aku lupa apa
yang ada di dalam, namun sesaknya masih luar biasa yang hampir membuatku tidak
bisa bernafas.
Kendati
aku ingin bercerita, aku lebih memilih menyerah pada apa yang kualami. Aku
ingin hilang, namun aku sadar tubuhku ini masih banyak yang memerlukan. Orang
tuaku masih butuh tenaga dari jeri payahku saat mencari uang, temanku masih
ingin didengar ceritanya, adikku masih menaruh harap pada kecerdasanku untuk
membantunya mengerjakan tugas sekolah, intinya adalah semesta dan isinya masih
ingin aku hidup, namun aku tidak bisa mendapatkan harapan yang sama.
"Baik
aku paham," ucap lelaki itu.
Dia
mengeluarkan buku yang berjudul "Lihat, Aku ada!". Dia memberi tahu
bahwa pasiennya yang menulis buku itu dan dia memiliki permasalahan yang sama
denganku.
* * *
Dalam
gelap, sunyi dan hening aku tetap terpaku pada kekosongan ruang yang
menyelimutiku. Manusia tidak pernah tau kapan orang lain bertahan, kapan orang
lain menyerah. Aku memutuskan untuk menghilang, karena memang tidak pernah
terlihat. Aku memutuskan untuk tidak lagi berbicara, karena memang tidak pernah
didengar. Aku terus mencoba mencari alasan untuk bertahan, dari hal yang besar
hingga yang kecil. Namun alasan itu tidak kunjung muncul. Bahkan aku pernah
berusaha untuk meminta bantuan tenaga profesional, namun entah kutukan apa yang
semesta timpahkan kepadaku, dia tidak sama sekali membantu, dan bahkan dengan
kejam memintaku menjadi orang lain. Seperti beberapa teman yang mulai
membandingkanku dengan yang lain ketika aku bercerita.
Di
tempat gelap, sunyi dan hening , aku mencoba bertahan berlama-lama di sini.
Sebagaimana aku bertahan hidup dalam tekanan beban dan batin yang luar biasa.
Jika itu akhirnya yang semesta harapkan, aku mengabulkannya. Dan dunia tetap
berputar bukan?
Selesai
Biodata
Penulis:
Fajarmana
lahir di Serang, 28 Desember 2000. Sedang berkuliah di jurusan Pendidikan Seni
Pertunjukan UNTIRTA. Berprofesi sebagai Barista di salah satu kafe yang ada di
Cilegon. Menghabiskan sisa waktu sibuknya dengan membaca dan menulis.

Nomor
Rekening:
BCA:
2453350363 A/N Fajar Rahmatulloh

Tidak ada komentar:
Posting Komentar