"Upacara
Pemakaman"
Fajarmana
Hujan mulai terasa semakin deras malam ini, aku yang tidak
sempat memakai jas hujan harus segera bergegas menuju Alun-alun kota
menggunakan sepeda motor untuk menghampiri temanku yang sedang berada di sana.
Sekitar 5 menit yang lalu ketika aku sedang lahap menghabiskan nasi goreng,
temanku Diana menelponku secara tiba-tiba, memberitahu bahwa dirinya sedang
mengalami kesulitan. Aku sebenarnya tidak tahu pasti tentang apa yang
sebenarnya terjadi, namun aku yakin bahwa itu merupakan kondisi yang tidak
baik.
Aku mulai menaikan kecepatanku menembus hujan dan kemacetan,
menyalip mobil yang berjalan lambat di jalan yang licin. Tiba-tiba terdengar
dering handphone dari dalam tasku, yang membuatku semakin menaikan
kecepatan, karena aku yakin itu dari Diana yang semakin membutuhkan bantuanku.
Sesampainya di Alun-alun, aku mengambil handphone dari
tasku, beruntung tasku terbuat dari bahan yang kedap air, jadi hanphoneku tidak
basah. Aku mengambil handphone, dan mengecek riwayat telpon. Ternyata yang
sedari tadi menelponku adalah Faiz teman di sekolahku dulu. Aku sejenak
mengabaikan itu, aku langsung menelpon Diana. Diana memberi tahu posisinya, ada
di pendopo alun-alun yang tidak jauh jaraknya dari tempatku memarkirkan motor.
Sesampainya di sana, aku langsung menghampirinya. Diana
cukup terkejut melihatku yang basah kuyup.
"Ya ampun Dion, kamu enggak pakai jas hujan?"
tanya Diana.
"Tidak sempat. Kamu kenapa?"
Diana bercerita bahwa dia habis bertengkar dengan pacarnya
di jalan, pertengkaran itu katanya pertengkaran hebat, hingga Diana meminta
diturunkan dari motor pacarnya, lalu akhirnya Diana ditinggal sendiri.
Astaga! Kupikir hal yang benar-benar gawat. Iya tidak salah
sebenarnya, tetap memerlukan bantuan jika kondisinya seperti ini. Tapi jika aku
tau begitu, aku seharusnya masih bisa memakai jas hujan terlebih dahulu.
Tapi yasudahlah, aku memang sudah terbiasa juga. Baik
darurat atau tidak, seorang mahasiswa Bimbingan Konseling sepertiku ini memang
harus siap sedia mendengarkan bahkan membantu orang lain, karena itu sudah
termasuk kode etik seorang konselor. Seperti yang sudah-sudah, aku sebagai
konselor memang sering mendengarkan, dan memberi saran orang-orang yang
membutuhkan konseling. Tidak sedikit teman-temanku menganggap bahwa aku adalah
orang paling tepat untuk dijadikan tempat cerita. Banyak mereka yang memujiku
sebagai pemenang dalam hal teman paling baik dan penolong. Aku cukup senang
dengan apa yang kukerjakan dan pujian yang diberikan.
Diana memintaku untuk mengantar dia pulang ke indekosnya,
aku tidak keberatan, karena kebetulan searah dengan jalan pulang.
Tiba-tiba handphoneku berdering, dari Faiz. Aku
mengangkatnya. Faiz mengajakku untuk ke rumahnya, katanya dia sedang sendiri di
rumah, butuh teman ngopi.
"Paling bisa jam 12 maleman sih, Iz. Aku ada jadwal
konseling jam 10 ini." Aku memberi tahunya. Lalu Faizpun setuju.
Aku memang membuka konseling untuk mahasiswa di kampusku
yang butuh jasa konselor. Ya walaupun aku bukan seorang profesional, tapi
niatku memang murni membantu orang-orang yang butuh tempat cerita.
Lalu aku mengantar pulang Diana ke indekosnya, sekaligus aku
juga pulang ke rumah untuk berganti pakain dan bersiap-siap pergi menemui
pasienku, kebetulan juga hujan sudah mereda, jadi aku dan Diana bisa langsung
pulang.
Sesuai janji temu, aku melakukan konseling di kafe sekitar
kampus. Konseling berlangsung selama hampir 2 jam, karena banyak hal yang
diceritakan oleh pasienku. Aku sebenarnya sudah cukup mengantuk, ditambah
badanku juga mulai tidak enak, mungkin karena kehujanan tadi ketika menghampiri
Diana.
Sesi konseling selesai, aku bergegas pulang karena petir
mulai bergemuruh, pertanda akan ada hujan susulan, aku tidak mau lagi
membiarkan tubuhku bersedia menerima semua rintik hujan itu, jadi aku putuskan
untuk pulang dan istirahat.
*
* *
Pagi ini aku terbangun oleh jam wekerku. Aku mengecek
handphone untuk memastikan hari ini ada kuliah atau tidak. 4 panggilan tak
terjawab dari Faiz, astaga aku lupa bilang kalau aku tidak jadi kerumahnya. Dan
Faiz juga mengirim pesan yang berisi ceritanya tentang masalah yang sedang
dihadapinya, dan di situ juga terdapat pesan permintaan maaf dan perpisahan.
Sejenak aku mencerna apa yang faiz ucapkan dalam pesannya. Lalu aku melihat
grup WhatsApp dan ramai memperbincangkan sesuatu. Dan aku tercengang ketika
membaca berita bahwa Faiz sudah meninggal dunia, dia bunuh diri di kamarnya
tadi malam.
Aku termenung, memandang kosong tembok yang berada di
depanku, air mataku menetes, derasnya nyaris seperti hujan semalam. Bagaimana
bisa aku membiarkan Faiz menghadapi masalahnya sendiri? Bagaimana bisa aku
membiarkan temanku sendiri melewati malam mengerikan sedangkan aku sibuk
mendengar cerita orang lain yang bahkan tidak aku kenal? Dan bagaimana mungkin
orang lain menganggap aku pemenang dalam hal pertemanan sedangkan nyatanya aku
kalah karena gagal menolong temanku yang sedang kesulitan?
Aku menghadiri upacara pemakaman temanku sebagai teman
terburuk diantara teman Faiz yang lain. Dan selanjutnya aku menjalani hari-hari
dengan penyesasalan atas kekalahan terbesar sebagai seorang konselor gagal.
Selamat jalan Faiz,
maafkan temanmu ini.
Selesai
Cerpen ini aku tulis tahun 2023 di Cilegon.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar